Oleh: Riki Rikarno, M.Sn
Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar
Fenomena penggunaan media sosial sebagai alat kampanye bagi calon kepala daerah di Kabupaten Tanah Datar, seperti halnya di banyak daerah lain di Indonesia, telah mengalami transformasi signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Media sosial, yang awalnya lebih banyak digunakan untuk komunikasi pribadi dan berbagi informasi sehari-hari, kini telah menjadi salah satu platform utama dalam strategi kampanye politik. Hal ini didukung oleh teori komunikasi massa dan pengaruh media digital, seperti Teori Agenda Setting dan Teori Two-step Flow yang menyatakan bahwa media, termasuk media sosial, memiliki kekuatan untuk membentuk opini publik dan mempengaruhi perilaku pemilih melalui pengaruh pemimpin opini.
Menurut Teori Agenda Setting yang dikemukakan oleh McCombs dan Shaw, media tidak hanya memberikan informasi kepada audiens, tetapi juga mengarahkan perhatian audiens kepada isu-isu tertentu yang dianggap penting.
Dalam konteks kampanye politik, calon kepala daerah dapat memanfaatkan media sosial untuk menyusun agenda mereka, mempromosikan visi-misi, serta menciptakan narasi yang menguntungkan mereka.
Di Kabupaten Tanah Datar, penggunaan media sosial oleh para calon kepala daerah telah memungkinkan mereka untuk menjangkau audiens yang lebih luas secara cepat dan efisien. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2022 menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 210 juta orang, dengan mayoritas dari mereka aktif di media sosial. Ini menunjukkan potensi besar media sosial sebagai alat kampanye politik, termasuk di daerah-daerah seperti Tanah Datar.
Penggunaan media sosial sebagai alat kampanye bagi calon kepala daerah di Kabupaten Tanah Datar telah mengalami transformasi signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Media sosial, yang sebelumnya digunakan untuk komunikasi pribadi, kini menjadi platform utama dalam strategi kampanye politik, memanfaatkan Teori Agenda Setting dan Teori Two-step Flow untuk memengaruhi opini publik dan perilaku pemilih (McCombs & Shaw, 1972; Katz & Lazarsfeld, 1955).
Para calon kepala daerah di Tanah Datar memanfaatkan media sosial untuk menyusun agenda dan mempromosikan visi-misi mereka kepada audiens yang lebih luas secara cepat dan efisien, sementara tokoh masyarakat lokal berperan sebagai pemimpin opini yang mendukung strategi ini. Namun, media sosial juga sering digunakan untuk menyebarkan informasi palsu dan kampanye hitam, mencerminkan Negativity Bias yang lebih menarik perhatian audiens (Kominfo, 2019).
Selain itu, Teori Two-step Flow dari Katz dan Lazarsfeld mengemukakan bahwa informasi yang disebarkan melalui media sering kali diteruskan oleh pemimpin opini kepada masyarakat luas. Dalam konteks kampanye politik di media sosial, para influencer atau tokoh masyarakat lokal dapat berperan sebagai pemimpin opini yang mengarahkan persepsi publik terhadap calon kepala daerah tertentu. Ini bisa menjadi strategi yang sangat efektif, terutama di daerah dengan ikatan komunitas yang kuat seperti Tanah Datar.
Namun, di sisi lain, media sosial juga sering dijadikan ajang untuk menjatuhkan lawan politik melalui kampanye hitam (black campaign) dan penyebaran informasi palsu (hoaks). Fenomena ini sejalan dengan konsep Negativity Bias dalam psikologi politik, yang menyatakan bahwa individu cenderung lebih memperhatikan informasi negatif dibandingkan informasi positif.
Ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan konten yang menyerang kredibilitas atau karakter calon lawan, yang kerap kali menyebar lebih cepat di media sosial dibandingkan dengan klarifikasi atau tanggapan dari pihak yang diserang.
Dalam konteks Indonesia, data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa pada masa pemilu 2019, terdapat ribuan kasus hoaks politik yang tersebar di media sosial, termasuk di platform-platform seperti Facebook, TikTok, dan WhatsApp. Hal ini memperlihatkan sisi negatif dari media sosial dalam kampanye politik, di mana keterbukaan informasi dapat disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian dan fitnah.
Berikut beberapa hal yang mencerminkan fenomena tersebut:
- Serangan Berbasis Informasi Palsu.
Banyak calon yang menjadi sasaran informasi palsu atau hoaks yang disebarkan melalui media sosial. Tujuannya adalah untuk merusak reputasi lawan politik dengan menyebarkan berita negatif yang tidak benar. Dalam situasi ini, konten hoaks sering beredar dengan cepat, dan dampaknya dapat merusak citra kandidat secara langsung.
- Kampanye Hitam (Black Campaign)
Black campaign, yang mencakup penyebaran fitnah, tuduhan tidak berdasar, dan konten provokatif, sering digunakan untuk menciptakan kesan negatif terhadap lawan. Ini dilakukan melalui postingan di media sosial, komentar, atau meme yang dimodifikasi dengan sengaja untuk menyesatkan.
- Penggunaan Buzzer dan Akun Anonim
Banyak buzzer atau akun anonim yang muncul di media sosial untuk menyerang lawan politik. Mereka sering kali mengerahkan narasi yang dirancang untuk merusak kredibilitas lawan dengan memanipulasi opini publik, menggunakan bahasa provokatif, atau menyebarkan desas-desus yang merugikan.
- Polarisasi Pendukung
Media sosial juga memfasilitasi polarisasi di kalangan pendukung. Dengan algoritma yang sering memperkuat konten berdasarkan preferensi pengguna, pendukung dari berbagai kandidat sering kali terjebak dalam ruang gema (echo chamber), di mana mereka hanya menerima informasi yang mendukung kandidat mereka dan menjelekkan lawan.
- Kurangnya Regulasi yang Kuat
Meskipun ada regulasi tentang kampanye politik di media sosial, pelaksanaannya seringkali kurang efektif. Kandidat dan tim sukses memanfaatkan celah ini untuk melakukan kampanye yang menjatuhkan tanpa takut konsekuensi hukum yang serius.
Namun, kampanye di media sosial juga memberikan peluang besar bagi calon untuk mendekatkan diri pada masyarakat secara lebih personal. Platform seperti Facebook, Instagram, dan TikTok digunakan untuk menyampaikan program kerja, mendengarkan keluhan warga, dan meningkatkan partisipasi politik, meskipun sisi negatifnya tetap sulit dihindari.
Seiring berkembangnya fenomena ini, penting untuk meningkatkan literasi digital di kalangan masyarakat agar mereka dapat lebih kritis dalam menyaring informasi yang diterima dari media sosial. Oleh karena itu, meskipun media sosial memiliki potensi besar untuk meningkatkan popularitas dan memobilisasi dukungan, calon kepala daerah di Kabupaten Tanah Datar perlu berhati-hati dalam mengelola kampanye digital mereka.
Mereka perlu memastikan bahwa penggunaan media sosial tidak hanya efektif dalam meraih dukungan, tetapi juga etis dan bertanggung jawab. Penguatan literasi digital di kalangan masyarakat juga menjadi sangat penting untuk mengurangi dampak negatif dari informasi yang menyesatkan atau manipulatif di masa kampanye.
Artikel ini telah di terbitkan di padangexpo.com pada tanggal 9/10/2024, dengan URL: https://www.padangexpo.com/kesadaran-masyarakat-tentang-literasi-sosial-dalam-masa-kampanye-calon-kepala-daerah-tanah-datar/