Penulis: Frans R. Agustiyanto Dosen Fisika UIN Mahmud Yunus Batusangkar
ORCID ID: 0000-0002-3103-708X
Scopus ID: 57222583610
Ibnu al-Haytham (965–1040 M), dikenal sebagai “Bapak Optika” (unesco.org, 2015), lahir di Basrah dan menempuh studi matematika, astronomi, serta kedokteran di Kairo. Sekitar tahun 1011 M, ia menulis Kitāb al-Manāẓir (Buku Optika), sebuah karya monumental yang menggabungkan eksperimen laboratorium, analisis matematis, dan kritik terhadap teori Yunani klasik (Ghassemi and Sohrab, 2020). Dalam pengantarnya, Ia menegaskan bahwa meneliti alam adalah bagian dari memahami “ayāt” (tanda-tanda) kebesaran Allah, sehingga ilmu pengetahuan dan keyakinan spiritual berjalan beriringan.

Gambar Ilustrasi eksperimen Ibn Al Haytham (www.lomography.com)
Salah satu sumbangsih Ibnu al-Haytham yang paling terkenal adalah penjelasan tentang kamera obscura. Dalam Kitāb al-Manāẓir jilid 1 sampai 3 (Savage-Smith and Emilie, 1984), Ia menggambarkan eksperimen sederhana dengan menutup sebuah ruangan dan membuat satu lubang kecil (pin-hole) pada dinding. Cahaya dari luar, seperti sinar matahari atau bayangan pepohonan, merambat lurus melalui lubang tersebut dan memproyeksikan gambar terbalik di dinding seberang. Ia juga mencatat bahwa semakin kecil diameter lubang, semakin tajam bayangan yang terbentuk, membuktikan prinsip rectilinear propagation (Ibn al-Haytham, Kitāb al-Manāẓir).
Walaupun tidak pernah secara eksplisit merujuk pada teks Al-Qur’an, pemikiran Ibnu al-Haytham menunjukkan resonansi dengan perumpamaan “nūrun ‘alā nūr” dalam QS An-Nūr (24: 35). Ayat tersebut menggambarkan cahaya Ilahi berlapis-lapis, layaknya pelita dalam mangkuk kaca yang terus memantulkan sinarnya. Dalam konteks eksperimennya, “mishkāh” (ceruk kecil) dapat dianalogikan dengan lubang kamera obscura, “miṣbāḥ” (pelita) dengan sumber cahaya sejajar, dan “zurqājah” (kaca bening) dengan permukaan proyeksi. Gambaran spiritual ini seakan mendorong penelitiannya tentang hakikat dan perilaku cahaya.
Metodologi ilmiah Ibnu al-Haytham sangat khas: ia melakukan observasi sistematis, membuat pengukuran kuantitatif terhadap sudut pantulan dan tingkat kecerahan, lalu memverifikasi hasilnya melalui pengulangan eksperimen dalam kondisi yang bervariasi. Pendekatan ini jauh melampaui metode spekulatif pendahulunya dan menjadi cikal bakal prosedur ilmiah modern (Ghassemi and Sohrab, 2020). Pada saat yang sama, ia melihat penelitiannya sebagai ibadah intelektual, mengharmoniskan akal dengan iman.
Warisan Ibnu al-Haytham melampaui zamannya. Penemuan kamera obscura dan penyusunan hukum pantulan serta pembiasan cahaya membuka jalan bagi perkembangan optika Barat termasuk karya-karya Newton dan Huygens serta dasar teknologi pencitraan modern. Lebih jauh, spirit “cahaya di atas cahaya” mengajak generasi ilmuwan Muslim dan universal untuk terus menerangi kegelapan ketidaktahuan, menjalin kesatuan antara penelitian rasional dan nilai-nilai spiritual (keimanan).
Meskipun belum ditemukan bukti yang lengkap bahwa Ibnu al-Haytham secara langsung mengutip QS An-Nūr 35, semangatnya dalam mengeksplorasi makna lapisan-lapisan cahaya menunjukkan betapa kuatnya motivasi ilmiah yang berakar pada pandangan bahwa alam semesta adalah wahyu tersendiri. Konsep kamera obscura-nya menjadi contoh kongkrit bagaimana metafora Qur’āni dapat mengilhami penemuan-penemuan eksperimental yang memberi pencerahan baik secara ilmiah maupun spiritual bagi umat manusia.
Referensi:
- https://www.unesco.org/en/articles/international-year-light-ibn-al-haytham-pioneer-modern-optics-celebrated-unesco, diakses pada 10 Juni 2025.
- https://www.lomography.com/magazine/351431-hasan-ibn-al-haytham-the-father-of-optics, diakses pada 11 juni 2025
- Ghassemi, Sohrab. Ibn Al-Haytham and Scientific Method. Diss. Georgetown University, 2020.
- Savage-Smith, Emilie. “Kitāb al-Manāẓir: Books I-II-III (On Direct Vision).” (1984): 609-611.
- Terjemahan Quran Kemenag RI